Seni Pertunjukan – Butet Kartaredjasa

“Orang mengenalnya dari panggung teater dan layar kaca sebagai sosok yang lucu dan menghibur. Lakonnya sebagai Presiden zaman orde baru dan Presiden ‘Si Butet Yogya’ begitu khas dan membekas pada dirinya. Butet Kartaredjasa, sosok seniman kreatif dan inspiratif karena konsistensinya pada prinsip dan nilai-nilai yang dipegangnya sejak masih muda.”
Atmosfer seni
Terlahir di keluarga seniman membuat hari-hari masa kecilnya selalu melihat, mendengar, membaca dan merasakan akan atmosfer seni. Begitu lekat hingga ‘kontaminasi’ itu menjadikannya selangkah lebih maju di bidang kesenian dibanding teman-teman seumurannya saat itu. Masa-masa yang secara tidak langsung membentuk karakter, membentuk pengetahuan-pengetahuan dasar tentang seni, sekaligus membentuk mimpinya menjadi seorang seniman besar. Bertanggung jawab, disiplin, dan jujur adalah nilai-nilai yang ditanamkan oleh keluarganya sejak kecil.
Mas Butet menyenangi teater semenjak duduk di bangku SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) DIY dan tergabung dalam kelompok teater (Kita-Kita, SSRI, Sanggar Bambu) sejak 1978. Ia melanjutkan pendidikannya pada tahun 1982 ke Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia, jurusan Seni Lukis. Saat keinginannya pada senirupa menjadi bias dan dikalahkan oleh keinginannya untuk menjadi seorang aktor yang baik, saat itulah ia mulai menyadari bahwa seni teater dan sastra adalah pilihan jalan hidupnya. Hingga akhirnya ia meninggalkan bangku kuliah dan menekuni teater serta aktif menulis mengenai seni dan budaya di beberapa surat kabar.
Pilihan hidup
Ayahnya, Alm. Bagong Kussudiardjo dikenal sebagai seorang pelukis, penari sekaligus koreografer terkenal. Tak mengherankan apabila kakak-kakaknya pun mengikuti jejak sang ayah. Tetapi berbeda dengan kakaknya, ia justru memilih untuk menekuni bidang yang lain. Karena jika ia memilih untuk menari, maka ia merasa tidak akan punya kebanggaan tersendiri dengan hasil karyanya. “Apa istimewanya? Kalau saya narinya bagus, orang-orang pasti mahfum.. wong anaknya.. Tapi kalo narinya jelek? Cuma malu-maluin,” katanya.
Sedari muda telah terlihat keinginan dan prinsip yang kuat dari dalam dirinya, yang tidak dapat dipengaruhi oleh orang lain. Ia ingin lepas dari bayang-bayang dan ‘kerangkeng’ ayahnya. Ia ingin mendapatkan kebanggaan sebagai seorang aktor, karena apabila ia berhasil orang akan menilai bahwa itu bukan semata-mata karena ‘katrolan’ ayahnya tapi karena pilihan hidupnya sendiri. Hanya satu hal yang ingin dicontohnya dari ayahnya waktu itu, “Saya ingin menjadi ayah saya sewaktu masih muda, yang susah payah untuk menjadi seorang seniman, bukan disaat beliau sudah terkenal”.
Pilihan bukan berarti tanpa resiko. Sadar dengan pilihannya maka ia pun sadar akan tidak adanya dukungan dan fasilitas dari ayahnya. Ia lebih memilih untuk belajar dari orang lain. Ia memilih untuk tersiksa dan terhina. Bahkan sering ia bersama teman-teman teater sudah berlatih keras selama 3-4 bulan, namun pada saat dipentaskan ternyata kurang mendapat tanggapan dan apresiasi karena sepinya penonton. Perjuangannya ia rasakan sendiri. Tantangannya ia nikmati sendiri. Sengsara pun menjadi teman perjuangannya. Lalu ketika akhirnya ia diakui dan mendapatkan beberapa penghargaan atas penampilannya sebagai pemain teater—antara lain sebagai aktor terbaik tingkat SLTA se-DIY tahun 1979—ayahnya pun tidak hadir disana. Meski kurangnya apresiasi dari ayah dan kakak-kakaknya ia sama sekali tidak berkecil hati dan tidak ingin berpaling dari seni teater yang sangat ia cintai. Ia selalu merasakan kepuasan tersendiri dari setiap lakon yang ia mainkan, tidak pernah ada yang dibeda-bedakan.
Seniman rasional dan kreatif
Seseorang pekerja seni juga harus memiliki basis ekonomi. Ketika penghasilan dari teater dirasa mulai seret untuk menghidupinya dengan hadirnya pasangan hidup dan anak-anak buah cintanya. Mas Butet pun menjalankan profesi sebagai jurnalis dan usahanya di bidang periklanan (Galang communication). Namun meski teater pada saat itu tidak begitu menghasilkan, ia tidak pernah menganaktirikannya, ketiga profesi dijalankannya berbarengan. Ia justru memanfaatkan networking dari pekerjaannya untuk mengangkat seni teaternya.
Baginya seorang seniman bukan berarti harus mengedepankan seni dan pencapaian artistik dari seni semata dan mengabaikan lingkungan sosial. Seniman juga harus berbasis ekonomi, bisa menghidupi diri sendiri, keluarga, bahkan orang lain. Seniman yang sukses harus bisa disiplin, bertanggung jawab, konsisten, jujur (bukan plagiat), tidak boleh manipulatif, berani menderita (karena menurutnya tidak ada seniman yang berhasil tanpa penderitaan), dan tentu saja kreatif.
Apa kreatif menurut mas Butet? “Ya kreatif itu berani melihat sesuatu dari segala sisi, contohnya aku melihat kamu ini lho dari depan, ya mboseni. Sekali kali aku juga harus berani melihat kamu dari belakang, samping, bawah. Ya tho? Selain itu, harus berimajinasi tanpa batas,” jelasnya. Menurutnya, Proses kreatif ini adalah budi daya akal yang mengakari sebuah kebudayaan. Produk kebudayaan tidak bisa dan bukan untuk diindustrikan! Reproduksi dari pencapaian kebudayaannyalah yang bisa diindustrikan. Sebagai contoh, pertunjukan teater difilmkan dan dicetak dalam CD untuk kemudian dijual ke masyarakat.
Sukses itu
Perjuangan memang selalu berbuah manis. Setelah 32 tahun berkarya, saat ini wajahnya banyak menghiasi layar kaca. Sejak lakonnya sebagai sang presiden orde baru di tahun 1998 membuat masyarakat terhibur. Seakan ia menjadi pionir yang berani menyentil mantan orang nomer satu di Indonesia saat itu. Sekarang orang telah mengakuinya sebagai seniman yang handal. Pentas teater dan monolognya tidak lagi sepi penonton. Hidup pun tidak lagi sengsara dan menderita.
Sepeninggal sang ayah tahun 2004 silam, ia tidak lantas seperti anak ayam kehilangan induknya, karena dirinya besar atas namanya sendiri. Ia tetap aktif berkarya dan berperan dalam yayasan Bagong Kussudiardjo, yang memiliki misi untuk mendekatkan seni dengan masyarakat. Menjembatani agar masyarakat sadar akan potensi kreatif yang ada di dalam diri masing-masing, karena seni tanpa masyarakat tak ada artinya.
Satu hal yang masih ingin dicapainya saat ini, ia ingin bisa membuat anak-anak muda berkontribusi untuk mengabdi kepada kebudayaan. Ia merasa miris ketika melihat banyak anak muda sekarang yang pragmatis, maunya enaknya doang, kehilangan etos kerja dan mementingkan hasil daripada usaha. Ada salahnya orang tua jaman sekarang yang selalu mengukur keberhasilan dan kesuksesan hanya dari aspek ekonomi semata. Padahal kebahagiaan ini tak dapat diukur oleh nilai ekonomi.
Lalu apakah setelah semua yang telah dicapai seorang Butet kini membuatnya menilai dirinya sukses? Ternyata tidak. Buatnya, sukses itu abstrak, tidak bisa disamakan antar perorangan. “Sekarang ini saya melihat diri sendiri bukan sukses, tapi semakin percaya diri, percaya diri untuk memilih kesenian sebagai jalan hidup,” katanya. ( http://www.indonesiakreatif.net )


Category Article ,
Bagikan Artikel ini ke teman Anda...!!!

What's on Your Mind...

Silahkan Berkomentar dengan sopan, hindari kata-kata kotor, sara dan spam.
Semoga Bermanfaat.

Powered by Blogger.