Guru bukanlah Dewa, dan Murid bukanlah Kerbau


1306765058209766080
Ilustrasi/Admin (shutterstock)
Oleh: Gelar S. Ramdhani
“Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.” (Soe Hok Gie)

Kalimat (argumentasi) tersebut merupakan kutipan dari catatan seorang aktivis mahasiswa (era 60-an), yang terkenal dengan sikap idealismenya yang kritis, kritis melawan kemunafikan, kritis melawan ketidakadilan, dan kritis dalam melawan penindasan pada saat itu. Soe Hok Gie, mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, salah seorang sosok yang menginspirasi saya, seorang kakak yang tak pernah bertemu secara nyata, tapi selalu bertemu dalam catatan tak bernyawa.

Bukan tanpa alasan Soe Hok Gie berbicara demikian waktu itu, ia merasa ada sesuatu yang salah terhadap gurunya, kala itu banyak guru yang merasa paling jago, merasa guru paling pintar. Sama halnya seperti Gie, saya menulis catatan  ini bukan tanpa alasan, mungkin tulisan ini adalah fase klimaks kegelisahan saya melihat kondusifitas sistem pendidikan di sekitar kita. Betapa panasnya telinga saya mendengar informasi, masih banyak oknum tenaga pengajar dari mulai tataran sekolah dasar, menengah, hingga perguruan tinggi, yang merasa dirinya ‘dewa’, dan merasa anak didiknya (siswa) adalah ‘kerbau’.

Mengapa di era post feodalisme ini masih ada, guru yang marah membabi buta di depan kelas kepada siswanya yang melakukan kesalahan padahal hanya sebatas kesalahan kecil (bukankah dalam membangun karakter siswa harus mengedepankan nilai construction in education, bukan malah memberikan punishment yang berlebihan? apakah mau seorang guru ditegur murid ketika ia melakukan kesalahan?), juga masih ada guru yang menjawab “Untuk saat ini anda belum saatnya tahu hal itu” ketika ada murid yang bertanya sesuatu yang terlalu expert jenis pertanyaannya (ya, saya mengerti memang mungkin belum saatnya atau bukan porsinya tapi apakah salah seorang guru menjelaskan gambaran umumnya saja? bukankah sisa punya hak untuk pintar?).

Cerita paling ironis ketika ada seorang siswa pada sebuah sekolah yang menyanggah pernyataan argumentasi seorang gurunya, alasannya karena dari hasil observasi ilmiah yang dilakukan siswa tersebut menyatakan sudah ada hasil riset terbaru , dan pendapat guru tersebut adalah hasil riset yang kuno (maka dari itu pentingnya belajar sepanjang hayat, jadi guru bukan indikasi untuk berhenti belajar), namun oknum guru tersebut tak mau menerima, merasa dirinya paling benar, malah berdebat kesana kemari (mungkin dengan alasan jaga image). Mengapa saya katakan ironis? karena kisah tersebut tak berujung sampai ketika bel pulang sekolah dibunyikan, melainkan cerita itu berlanjut sampai ke penilaian, guru itu memberikan nilai buruk kepada siswa yang menyanggah argumentasinya. (apakah ini yang dinamakan hidup di negara demokrasi?)

Apa yang seharusnya?
Indonesia saat ini sudah bisa dikatakan negara yang demokrasi, makna demokrasi secara holistik adalah ketika setiap individu memiliki hak untuk bersuara. Jika kita substansikan dalam dunia pendidikan, pada masa ini seharusnya sudah tidak lagi berlaku lagi paradigma feodalisme semacam itu, dalam arti lain bahwa dalam ruangan kelas saat ini guru bukan layaknya seperti penguasa. Saat ini guru sudah saatnya menanamkan arti demokrasi di ruangan kelas, dengan konsep belajar mengajar seperti ini akan lebih interaktif, bukankah metode interaktif ini telah berhasil mendidik anak taman kanak-kanak menjadi cepat pintar bernyayi meskipun mereka rata-rata belum bisa menulis apalagi membaca secara baik? karena dengan metode ini peserta didik akan lebih leluasa dalam mengeksplorasi ilmu pengetahuan, inilah salah satu nilai lebih demokrasi pendidikan.

Sedikit saya akan berbicara tentang sistem pendidikan di kampus saya, kebetulaan saat ini saya sedang menempuh S1 Kedokteran Gigi pada salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia, seluruh institusi pendidikan kedokteran ataupun kedokteran gigi Indonesia saat ini berbasis pada konsep student centered learning atau pendidikan yang menitikberatkan siswa untuk aktif dalam mengeksplorasi ilmu pengetahuan, pendidikan yang memberikan ruang demokrasi kepada mahasiswa untuk mengolah dan mencerna ilmu pengetahuan, dan dosen pada pendidikan kedokteran berfungsi sebagai fasilitator.

Sebagai fasilitator, dosen pada institusi kedokteran dituntut tidak kalah dengan mahasiswa, karena sistem pendidikan ini akan lemah jika yang mengeksplorasi ilmu pengetahuan hanya mahasiswanya saja. Dosenpun dituntut aktif untuk belajar, karena kalau dosen tidak aktif belajar maka dosen akan gagal sebagai fasilitator, dan dampaknya pada keberhasilan belajar mahasiswanya. Dalam perspektif saya sistem pendidikan seperti ini sangatlah baik, karena bukan hanya mahasiswa yang belajar, melainkan guru atau dosenpun turut belajar pula (memfasilitasi long life education), secara tidak langsung hal ini akan meningkatkan mutu tenaga pendidik.

Jika berbicara dari segi demokrasi sistem pendidikan dan evaluasi sisten serta kinerja dosen, pihak pengelola akademis di kampus saya menyediakan ruang demokrasi seluas-luasnya berupa hak mahasiswa untuk mengisi “borang monitoring dan evaluasi (monev)” dalam borang tersebut mahasiswa berhak mengemukakan suaranya terkait kepuasan belajar mengajar, memeberikan saran dan kritik terhadap dosen dan lain sebagainya. dari hasil penilaian mahasiswa tersebut akan di follow up oleh pihak kampus untuk melakukan penelitian dan pengembangan sistem pendidikan yang ada di kampus. Saya sendiri terus mengawal kebijakan kampus semacam ini, karena dengan cara seperti ini, pihak kampus tidak akan semaunya membuat sistem, dan dengan kebijakan pengisian monev seperti ini akan terlahir sebuah kebijakan yang saling menguntungkan demi kemajuan bersama.

Dalam rangka meningkatkan kualitas sistem pendidikan di Indonesia, dan dalam rangka meminimalisir paradigma sesat “guru adalah dewa, siswa adalah kerbau” Sistem student centered learning yang dievaluasi secara berkala dengan pengisian borang monev (atau sejenisnya) seperti yang dilakukan di kampus saya, dapat dijadikan solusi tepat, dan rasanya tidak susah untuk diaplikasikan di tataran pendidikan dasar dan menengah, tinggal disesuaikan dengan porsi dan lingkungan masing-masing.

Sekali lagi dalam menentukan sistem pendidikan pada sebuah sekolah atau lembaga pendidikan lainnya, dan dalam kegiatan belajar mengajar guru atau dosen tidak bisa bertindak semaunya (tidak zaman lagi guru adalah dewa), seperti yang tertuang dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam pasal 8 berbunyi “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan”.

Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/30/guru-bukanlah-dewa-dan-murid-bukanlah-kerbau/


Category Article
Bagikan Artikel ini ke teman Anda...!!!

What's on Your Mind...

Silahkan Berkomentar dengan sopan, hindari kata-kata kotor, sara dan spam.
Semoga Bermanfaat.

Powered by Blogger.